INNALILLAAHI WAINNA ILAIHI ROOJI'UUN
Bagi perantau jauh seperti Kami, berjam jam diudara, dengan kondisi cuaca yang tidak bisa diprediksi, adalah sebuah keharusan yang tidak dapat dielakkan .Kalau dihitung , tahun ini saja, harus turun naik pesawat hingga 12 kali.. Subhanallah.. Antara Harap dan Cemas berkelebat silih berganti.
Peristiwa Memilukan yang terjadi pada Air Asia Minggu Pagi 28 Desember, membuka kenangan lamaku tentang pengalaman Dahsyat Pada pertengahan Juli 2010 2014 Lalu. Dimana Turbulence selama 6 Jam di udara, telah mengombang ambing jiwa dan perasaanku yang teramat dalam.
Jika dikenang trauma itu, sulit rasanya hari ini aku bisa tersenyum kembali... Sedih, Takut, Cemas dan entah apa lagi kata kata yang pantas setara dengan ini.
Kala itu, kami mendadak harus pulang ke tanah air, karena ada urusan yang perlu diselesaikan. Karena dadakan, dan Juli adalah Peak season utk dunia penerbangan, maka terpaksa ketika berangkat kami duduk dalam kondisi kursi terpisah pisah.
Pertarungan mental dimulai sejak dr Muschat hingga Aceh , kurag lebih 6 jam lamanya. Turbulence dan angin panas dari Eropa telah mengombang ambing kami dari ketinggian menghempas entah berapa kaki kebawah, naik lagi, turun lagi, pesawat membelok ke kiri, kenan begitu seterus nya tanpa henti. Lampu emergency, tanda wajib memakai Safety Belt tidak pernah di padamkan. Rute Pesawat yang tadinya dengan jalur lurus menuju Jakarta, tiba tiba meliuk liuk seperti ular menghampiri Pathaya Thailand.
Pesawat waktu itu sebagian besar dipenuhi oleh bule yang ingin berlibur ke Indonesia. Termasuk yang disamping kiri dan kananku. Hampir semua orang kala itu tampak gelisah. Alhamdulillah si buah hati yang duduk 2 kursi didepanku tetap tenang menikmati film kesukaannya seperti kebiasaanya kalau sedang di udara. Entah lah dengan suamiku, yang duduk lebih jauh diruang depan yang berbeda dengan kami. Kondisi duduk terpisah ini juga menambah ketidak nyamanan semakin menjadi.
Ketika sang Bule mencoba menghibur, mengajakku main game, atau nonton film, aku hanya bilang, bahwa aku sudah tidak bisa lagi konsentrasi memikirkan yang lain, karena kondisi penerbangan ini membuat ku sangat panik dan cemas. Kebanyakan penumpang dalam kondisi tegang , termasuk pramugari yg tampak lebih gelisah dari biasanya.
Alhamdulillah, setelah melewati Aceh, memasuki Sumatera Utara, kondisi udara sudah mulai agak reda, dan lampu emergency juga sudah dipadamkan. Namun demikian, trauma tetap tidak bisa hilang begitu saja. Berbulan bulan lamanya aku menjadi orang yang hidup dalam bayangan ketakutan, kecemasan dan kegelisahan. 2 tahun lamanya Aku tak berani pulang ke Indonesia. Sebulan lamanya setelah kembali lagi ke Qatar, aku gundah gulana. Bermacam model penyakit pun bermunculan. Bahkan sedikit saja berkeringat, lansung kulit terasa gatal luar biasa. Suntikan dokter dengan obat tidur dosis tinggi pun t idak mempan membuatku tertidur lelap.
Masyaa Allah.. Dibalik semua yang terjadi itu, Allah Swt ternyata ingin menegurku, menyapa dengan cinta Nya, agar aku lebih belajar, bagaimana cara berserah diri dengan sepenuh hati. Perlahan, aku belajar dari semua orang, dari siapa saja yang bisa kutanya dan kuceritakan, Hingga aku ditanya oleh seseorang, "Jika Kematian Itu benar benar sudah dekat, Kita mau Apa ???
Apakah kita bisa lari atau bersembunyi , Atau minta pertolongan ???
Dari situ aku mulai mencari jawabnya sendiri, Bahwa sesungguhnya Harus Mempersiapkan Diri.
Sejak itu pula, kucoba mencari bekal demi bekal, jawaban demi jawaban, yang membuat hati ini makin nyaman ,tentram dan terlepas dari yang disebut keluh kesah. Kucoba perlahan membangun kepasrahan. Belajar dari kisah Nabi Ismail As, karena kecintaannya pada Allah Swt, Pedang yang tajam yang akan menyayat lehernyapun tidak pernah dia takuti dan cemaskan. Begitupun dengan Bapaknya Nabi Ibrahim As, Bagaimana dia akan bisa membantah perintah Allah Swt, mempertahankan jiwa anaknya, sedangkan jiwa nya sendiri datang dari Allah Swt.
Demikian Juga dengan Nabi Yunus As, meskipun sudah ditelan ikan paus, tapi jika kata Allah Swt, belum sampai ajalnya, maka dia pun belum akan mati.
Dari kejadian itu, aku tersentak dengan sebuah kesimpulan bahwa dimanapun posisi tempat duduk, Jabatan dan posisi keduniaan walau di VIP, didepan ,paling belakang, Pilot, Co Pilot, Pramugari, President, Pejabat, Rakyat biasa, Majikan maupun pelayan, semua dalam prioritas yang sama ketika pesawat sudah lepas landas diudara, sama hal nya dengan posisi yang sama di hadapan Allah Swt . Hanya Iman dan ketaqwaannya saja yang bisa menjadikan seseorang itu tenang tentram dalam penyerahan diri yang utuh kepada sang Khaliq tanpa tergoda oleh ketakutan menghadapi pertanggung jawaban kepada sang Pemberi Titipan kemewahan dunia, dan tidak pernah khawatir untuk meninggalkan segala kemewahan dunia yang tengah dipeluknya.
Semakin tinggi tingkat keimanan dan kedekatannya kepada Allah swt, semakin tentram dan tenanglah dia menghadapi Malaikat Maut sekalipun. Tapi semakin jauh dari Allah Swt, maka semakin ketakutanlah dia menjalaninya.
Jika ajal memang sudah waktunya, jangankan di Pesawat, dimobil, di jalan atau dimana mana, sedang baik baik pun Malaikat Maut takkan pernah lalai dengan tugasnya
Tugas kita hanyalah bersiap diri, berbenah apa yang mampu kita benahi, Berbuat sesuai dengan ajaran dan tuntunan Allah Swt, Memperbanyak kebaikan dan menjauhi Larangan Allah Swt. Selanjutnya Berpasrahlah dengan sepenuh Kepasrahan, sehingga tidak ada lagi kepasrahan yang melebihi Pasrah kita Kepada ALLAH SWT.
Dengan kepasrahan itu, Alhamdulillah, tidak akan ada lagi kecemasan, ketakutan, kekhawatiran sehingga kita bisa melangkah dibumi yang damai ini dengan hati yang tenag dan jiwa yang tentram. Jika datang godaan ,bisikan syetan, bergegaslah kembali, memohon perlindungan hanya pada Allah Swt semata.
Dengan Tawakkal pada Allah Swt, Bermohon perlindungan, berpasrah diri, maka Aku tidak pernah lagi takut dan cemas kecuali yang kutakutkan hanyalah ketika berfikir bahwa " Persiapanku belumlah cukup, sementara Dosaku Masih terlalu banyak "